Bandung, 26 Maret 2017
beragam teori mengenai kehidupan
dasarnya membeku seperti daging di supermarket
kita berdua membeli rasa yang tak diketahui untuk dicoba dan dihakimi
di atas makna makna beribu kata yang aku punya tak satupun membantu
semua terrekontruksi seusai senyummu yang imajiner bermuatan mimpi
kata kata itu..
mereka saling menghajar satu sama lain agar kelihatan pada akhirnya siapa yang menang
namun tetap, ada ada saja hal yang kupaksakan untuk mengerti
hingga terkadang, kebohongan terbesar adalah melafalkan kejujuran itu sendiri
bersamanya, partikel mimpi terbangun
status sosial teruntuhkan
apalagi kepercayaan yg dipindah bukukan
bagian progresif lainnya adalah, saat sebenarnya rasa yang kita berdua telah miliki adalah usaha saling mempertahankan ide atas kepemilikan yang diganti subjeknya
dengan mencoba berangan bisa
kita tahu sebenarnya kita tak mampu
dengan mencoba meraih mimpi
kita sadar keinginan yang nyatanya sudah berpisah dari intinya
terkadang
aku merasa batinku menitikkan air mata
sesaat aku tahu bahwa aku hidup dijalan yang harus aku petik dari kesedihan
–
sesaat kita berdua tak mampu lagi melihat
kita berpegangan tangan erat
sesaat ditengah-tengah ciuman bergairah
kita dihantui perjanjian-perjanjian yang telah lama dikhianati dan tak erat lagi maknanya
sesaat ditengah perbincangan yang itu-itu saja
kita mengabaikan kehancuran proses menghargai
apakah kita saling hilang?
dengan berdiri melihat diri sendiri terkapar dihantam dimensi, banyak hal didunia ini yang sebenarnya tak berpengaruh langsung terhadap diri kita sendiri
disini makna penciuman tak berlaku
disini makna pembunuhan yang sejati adalah pembunuhan karakter
disini makna pemerkosaan digulingkan kata-kata, bukan secara fisik
nol satu adalah representasi nyawa kita
kita seolah hidup ditengah hal yang telah berjalan dan mulai dihitung
ya, semua orang berpikiran seperti itu
tidak ada lagi orang disini yang memulai dari nol nol
semuanya memiliki ego yang kuat
saling beradu bagai badai perspektif
–
aku ingin mengalah sejenak dari sini
aku berlindung pada tiap baris kata-kata di kamus usangku
kembali pada definisi-definisinya
dan berlindung dari manusia-manusia yang kelihatannya tak pernah membaca sama sekali dan menyerap intinya menggunakan hatinya, sukmanya
karena kadang kita serakah makna, saking banyaknya orang yang ingin jadi juara.
–
aku sih, nonton aja.
“iya, tapi sayangnya kita nggak bisa jadi penonton doang,
kita semua punya peran“
begitu balasnya, sekaligus penutup kata-kata ini.